Sabtu, 16 Maret 2013

Sejarah Aktivitas gunung ijen

    Gunung Ijen merupakan salah satu gunung aktif di Indonesia, Letusan pertama kali di gunung ijen tercatat pada tahun 1796, disusul dengan letusan kedua pada tahun 1817 yang meluapakan air danau kawah dan lahar melanda lahan pertanian hingga didaerah Banyuwangi dan Asembagus. Secara berturut-turutdari tahun 1925, 1934 dan 1956 terjadi letusan kuat yang melontarkan gas, air dan lumpur hingga mencapai tinggi puluhan meter. Sejak tahun 1991 letusan terjadi setiap tahun sampai 3 tahun sekali. Pada kurun waktu tahun 1917 sampai1991, periode letusan tercatat 6-16 tahun sekali. Peristiwa yang tercatat dalam sejarah berupa letusan freatik dan magmatic. Letusan freatik lebih sering terjadi karena karena gunung ijen memiliki danau kawah sehingga adanya kontak langsung atau tidak langsung antara air dengan magma membentuk uap yang bertekanan tinggi yang menyebabkan terjadinya letusan. Oleh karena itu, pemantauan aktivitas Gunung ijen secara terus-menerus berdasarkan kegempaan merupakan salah satu metode pemantauan yang sangat diperlukan(Hendrasto dkk, 2006). 

Kondisi Geologi Gunung Ijen



      Gunung ijen adalah gunung api bertipe strato volcano, salah satu generasi kerucut vulkanik setlah pembentukan kaldera ijen. Gunung api ijen dicirikan oleh danau kawah berukuran ± 960 x 600 meter dengan kedalaman air danau ± 200 meter yang dibatasi oleh pematang kawah berketinggian antara 2145 sampai 2386 m d.p.l(Reksowirogo, 1971). Menurut stehn (1938) volume air kawah tersebut sekitar 36 juta kubik. Gunung ijen merupakan kerucut lapis(compositae cone) dari generasi post kaldera. Generasi kaldera yaitu gunung api raksasa ijen tua berumur pleistosen atas ± 300.000 tahun (Sitorus, K, 1990) diberi nama gunung kendeng oleh Van Bemmelen pada tahun 1941.
      Pada suatu waktu sebelum 50.000 tahun yang lalu gunung ijen tua ini meletus dengan dahsyat dan mengerupsikan aliran piroklastik disusul oleh erosi jatuhan piroklastik, aliran piroklastik dan piroklastik’’surge’’. Seluruh batuan ini bersifat batuan apung dan peristiwa letusan dengan volume erupsi ± 80 kilometer kubik ini mengakibatkan struktur kaldera di ijen (Sitorus, K.1990)
 


Gambar 1 Peta Gunung Ijen (dari www.smandarussholah.sch.id)

Kamis, 18 Oktober 2012

Konfigurasi Elektroda pada Metode Resistivitas


Dalam metode Resistivity ada beberapa konfigurasi elektrode yang biasanya digunakan, konfigurasi elektroda tersebut terdiri atas : 
1. Konfigurasi Wenner 
Konfigurasi Wenner merupakan konfigurasi yang membutuhkan tempat yang sangat luas. Konfigurasi ini tersusun atas 2 elektroda arus dan 2 elektroda potensial. Elektroda potensial ditempatkan pada bagian dalam dan elektroda arus dibagian luar (Gambar 2.6) dengan jarak antar elektroda sebesar a. Pangukuran dilakukan dengan memindahkan semua elektroda secara bersamaan kearah luar dengan jarak a selalu sama (AM = MN = AB). Konfigurasi ini digunakan dalam pengambilan data secara lateral atau mapping. Faktor geometris untuk konfigurasi ini sebesar:    2πa 
Sehingga besar resisitivitas semu adalah:   ρ=2πa(V/I)
Konfigurasi Wenner


Merupakan konfigurasi yang hampir sama dengan Wenner, hanya saja jarak elekroda potensial dibiarkan tetap, pengukuran dilakukan dengan memindahkan elektroda arus ke arah luar. Metode ini tidak membutuhkan bentangan yang luas dan digunakan untuk pengambilan data sounding.  Jarak antara elektroda AM dan NB sama (AM = NB), sedangkan untuk jarak MN tetap. Faktor geometris untuk konfigurasi Schlumberger sebesar:

                                                          
besar resistivitas semu adalah:
                                     
                                                                                           
dan besar resistivitas semu adalah:
                                                                                 


Gambar 2.7. Konfigurasi Schlumberger
Menurut Milsom (2003) pada konfigurasi Schlumberger secara prinsip adalah mengubah jarak elektroda arusnya. Namun semakin jauh elektroda arus dari elektroda potensialnya maka potensial yang akan diterima oleh elektroda arus akan mengecil. Dengan hal ini maka dapat dilakukan menjaga sensitivitas pengukuran. Modifikasi tersebut dilakukan dengan  memperluas elektroda potensialnya. Dampak perubahan tersebut hanya berpengaruh terhadap kurva perhitungan yang akan overlap. Namun hal ini tidak akan berpengaruh terhadap kehomogenan dari resistivitas materialnya.